Posted by : Etika Indra Khusna Jumat, 22 April 2011

            Masih terlihat sembab matanya, tangisannya pun masih sedikit sesenggukan . Nisa begitu kecewa . Terlihat ia beberapa kali mengambil kerikil kecil dan melemparkannya ke arah rel kereta yang diam dalam kakunya . Atau  sekedar berbicara meluapkan kekecewaannya dengan sesekali mengumpat . Hingga berulang kali harus mengusap air matanya dengan dasi abu-abunya. Siang itu begitu terik , seakan mengikuti alur hatinya yang penuh dengan amarah .
Suatu ketidakadilan , jika ia harus bersabar berminggu-minggu demi mendapat pelukan rindu ayahnya . Berkali – kali jawaban dari kontak pertama dalam ponselnya “ Sabar ya Nis , ayah masih sibuk .  Besok lusa ayah usahakan untuk pulang ke rumah . Kerjaan di Surabaya masih banyak “ . Dan saat itu pula Nisa hanya mampu  menangis . Bukan jawaban ponsel untuk bersabar yang ia inginkan saat ini , namun ia benar – benar hanya menginginkan ayahnya pulang beberapa hari saja, meletakkan tumpukan kerjaannya untuk satu atau dua hari saja menemani Nisa , memeluknya, mendengar peluhnya tentang berbagai pelajaran yang ia rasa sulit memahami atau sekedar mengusap kepalanya. Ia rindu ayahnya yang peduli dan selalu ada waktu untuknya sebelum kakak dan ibu meninggalkan dunia ini seutuhnya. Kini, Nisa pun semakin berubah . Kebimbangan yang ia rasa .
Dari kejauhan , pemandangan dua anak kecil berlarian mengalihkan kesibukannya melempar kerikil kecil ke arah rel kereta api yang tepat berada di depannya. “ Ayo, mbak cepat larinya ! Siapa sampai di sekolah duluan , nanti harus membelikan gorengan di Mak Sam ! Hahaha “ suara anak laki-laki itu membuat mata Nisa mengikuti gerak langkah larinya . Anak laki-laki itu terus berlari hingga terpaut jarak cukup jauh dari seorang gadis kecil yang semakin tertinggal di belakangnya . “ Dek, tungguin mbak ! Mbak nyerah !” teriak gadis kecil berkerudung merah jambu . Nisa hanya memerhatikan mereka dari seberang rel kereta . Terlihat jelas oleh Nisa , anak laki-laki itu sudah terlampau jauh di ujung jalan, hingga sepertinya tak mendengar teriakan tanda menyerah dari gadis itu . Tiba-tiba , bruk ! Gadis itu jatuh tersungkur ke tanah. “Ya ampun !” seketika membuat Nisa terkejut melihatnya . Segera saja ia berlari melewati perlintasan kereta api dan menghampiri gadis kecil yang terlihat meringkih kesakitan .
“ Aduh bismillah... fuh..fuh...fuh ! “ bisik gadis itu pada lututnya yang terlihat sedikit berdarah .
“ Ya ampun adek, kok bisa jatuh ini gimana ? Haduh ... lutut kamu dek ! “ seru Nisa sambil terlihat panik mengetahui luka gadis itu .
“ Wah ndak apa-apa kok Kak ! Cuma lecet sedikit, udah tak kasih bismillah kok . Pasti cepet sembuh, hehe “ .
“ Apa ? Bismillah ? Haduh ... kamu ini gimana sih ? Kaki luka kayak gitu malah cuma dikasih bismillah, mana sembuh ? Sini tak kasih obat luka , kakak punya di tas !” ujar Nisa yang begitu panik hingga tak memberi kesempatan untuk gadis itu menyela ucapannya . Nisa pun mengambil tempat di bangku yang hanya berjarak satu meter dari tempat terjatuhnya gadis itu . Secepat mungkin ia menggeledah tas ranselnya untuk mendapatkan obat luka yang memang sering ia bawa ke sekolah . Tak perlu waktu yang lama Nisa pun mendapatkannya .
“ Sini, Dek ! Dikasih obat dulu lutut kamu ,” pinta Nisa sembari membuka tutup obatnya . Gadis itu hanya terlihat menurut saja . Ia tak ingin mengecewakan kebaikan Nisa , seorang gadis SMA yang belum ia kenal sama sekali .
“ Makasih ya Kak !” celetuk gadis kecil itu . Tak lupa mengumbar senyum manisnya kepada Nisa yang terlihat masih mengusapkan cairan obat luka di lutut gadis kecil itu .
“ Iya, sama-sama ! Nama kamu siapa dek ? “ tanya Nisa mengawali perkenalan mereka .
“ Anis . Annisa Ainur Farida . Kakak sendiri ? “
“ Loh , Annisa ya ? Wah kita punya nama yang sama dek . Aku juga Annisa . Annisa Fian Ramadhani . Tapi panggil aja Kak Nisa .”
Mereka saling tersenyum mendengar nama masing-masing . Nama mengagumkan untuk mereka . Annisa dalam bahasa Arab bermakna seorang gadis . Gadis yang bercahaya untuk sosok mungil Annisa Ainur Farida dan gadis yang terlahir di bulan yang mulia untuk Annisa Fian Ramadhani . Hingga mereka terus berbicang dan bercerita . Tentang keluarga dan cerita-cerita perkenalan awal .
“ Kak Nisa, sekarang jam berapa ? “ tanya Anis pada Nisa.
“ Baru juga jam 2 kurang sepuluh menit. Ada apa emangnya ? “ tanya Nisa balik .
“ Waduh, bisa telat nanti ngajiku . Soalnya masuknya jam dua siang !” keluhnya sambil bersiap pamit kepada Nisa .
“ Kak , aku mau pamit dulu ya ! Makasih banget buat kebaikan kakak . Besok mungkin bisa ketemu lagi disini, Kak ! Dah ! Assalamu’alaikum ! “ salam mungilnya terucap sembari melambaikan tangan . Ia berlari kecil dan menghilang secepat mungkin.
“ Hah , oke hati-hati di jalan ! Wa .... Wa’alaikumsalam ,” suaranya tergagap menjawab salam . Ia terdiam . Tanpa ada sepatah kata lagi terucap . Ia seperti tersadar dari semua sandiwara kekeruhan hatinya . Seperti ada sesuatu yang telah lama ia asingkan selama ini .
Dulu, tak jauh berbeda Nisa kecil dengan Anis . Berbusana muslim, manis, penuh keceriaan ketika berangkat mengaji . Semangat agamisnya pun dulu sangat tinggi . Tebar salam ke semua tetangga . Atau sekedar menghabiskan waktu berlarian dengan kakaknya, Fian . Mengejar layang-layang yang terlepas sambil melantunkan sholawat ataupun hapalan Asmaul Husna . Atau sekedar memuji kecantikan ibunya ketika beliau berbalut kerudung merah jambu sedang memasak di dapur rumah . Tiba-tiba ia merindukan masa kecilnya . Sepertinya sudah lama ia teguh dengan rasa angkuhnya setahun ini untuk tidak merindukan mereka, kakak dan ibunya . Kali ini ia tak mampu membendung air matanya yang seketika membanjir . Ia lelah menjauhi orang tercintanya dan tentu telah lelah memarahi dan menjauhi Tuhan dengan sikapnya yang tak acuh kepadaNya . Siang itu , ia merasa benar-benar lelah . Tangisannya kembali menemaninya , sesekali harus sesenggukan .

***
“ Kakak seharusnya bersyukur, masih ada ayah yang walaupun dari jauh tetap memberi kabar lewat ponsel . Banyak orang lain yang jauh lebih merana dibandingkan kakak . Tanpa orang tua, tanpa kabar dari ponsel, hanya merasa rindu yang tak memiliki obat penawar !” ujarnya panjang lebar . Nisa masih terdiam . Ia seperti benar-benar tersadar , terpukau dengan nasihat dari Anis yang notabene baru menginjak kelas enam SD.
“ Jadi selama ini kakak salah, jika meratapi kepergian orang-orang yang kakak sayang dengan menyiakan waktu percuma memarahi Tuhan , tak acuh dengan kenangan bersama mereka dulu , dan merasa ayah kakak adalah orang yang tak lagi menyayangi kakak ? Seperti tak ada lagi orang yang mampu menjadi pelindung bagi kakak , Dek ... ” keluh Nisa dengan suara yang semakin berat .
“ Hmm... Sabar Kak Nisa . Bukan seharusnya setahun ini kakak melewatinya dengan kesedihan. Karena mereka, orang yang kakak sayang akan bersedih melihat kakak yang bersedih dan menangis seperti ini , diikhlaskan Kak !” Anis menenangkan . Selembar kain cantik ia berikan untuk Nisa . Kain untuk mengusap air mata yang terlanjur keluar sebelumnya telah terlihat sembab.
Hari itu, pertemuan kedua bagi Anis dan Nisa . Seperti hari sebelumnya , mereka bertemu di bangku dekat perlintasan kereta api . Bercerita , mengembalikan senyuman yang sempat hilang dari wajah Nisa karena kepedihan musibah yang merenggut nyawa kakak dan ibunya setahun lalu . Di pertigaan ujung jalan besar setahun yang lalu .
Berat sepertinya beban yang harus Nisa rasakan kala itu , ketika ia baru saja merasakan kebahagiaan karena telah menjadi siswa SMA . Ibunya, sosok yang begitu menyenangkan, tempat berjuta ceritanya sepulang sekolah harus mendahuluinya secepat itu . Tak hanya ibunya, kakaknya , Ahmad Fian Ramadhan juga harus ikut menyusul ke sisiNya .
Ayahnya benar-benar terpukul . Hingga selama satu minggu sepeninggal mereka, beliau tak bekerja . Mungkin, dengan bekerja sesibuk minggu-minggu ini adalah rencana beliau mengalihkan kesedihan setahun yang lalu . Karena dua hari lagi merupakan hari kematian putra dan istri tercintanya .
Begitu juga dengan Nisa, sudah lebih dari sebulan ini , ia memarahi Tuhan , menjauhiNya , melupakan kenangan bersama kakak dan ibunya , tak mengacuhkan Tuhan walaupun hanya untuk mengerjakan lima waktunya . Ia merindukan mereka yang meninggalkannya . Ia lelah , karena di setiap do’anya pada Tuhan, ia merasa tak ada kedamaian maupun obat penawar kerinduan akan ibu dan kakaknya. Ditambah lagi kesibukan yang ia sangkakan kepada ayahnya hanya kebohongan semata . Karena menurutnya , ayahnya tak lagi menyayanginya .
“ Kak Nisa tahu ? Aku punya sebuah ayat Allah dari Al-Qur’an yang kutulis tebal di sampul bukuku “ ujar Anis menenangkan . Kemudian ia ambil sebuah buku yang bersampul rapi . Bukan sampul yang mahal kelihatannya , hanya sampul kertas berwarna coklat . Ia tunjukkan tulisan di balik sampul bukunya .
“Hasbunallahu wa ni’mal wakiil .... Cukuplah Allah ( menjadi penolong ) bagi kami dan Dia sebaik – baik pelindung .... “ terdengar lirih suara Nisa membacanya . Seperti ada yang mencair di hati Nisa . Sebuah keangkuhan berkata hanya dia yang mampu melindunginya sendiri , seakan runtuh dengan ayat Illahi yang mendinginkan hati . Nisa terlihat menitikkan air matanya lagi . Anis melanjutkan nasihatnya . “ Aku suka ayat ini, Kak . Karena ayat ini mampu menguatkanku dan tentu menguatkan kami .  Kakak harus mengikhlaskan mereka , dan harus tetap menyayangi ayah kakak . Ikhlas itu memang sedikit agak susah . Tapi, Kak Nisa tau ? Tuhan itu benar-benar Maha Penolong . Jangan menjauhiNya, karena kakak tak akan merasa kedamaian menghampiri kakak . Maaf, Kak ! Bukan maksud Anis menggurui kakak . Tapi percayalah Kak , Allah akan bersama orang-orang yang mau mendekatiNya dengan sabar dan ikhlas “. Nisa mendengarnya , dan tersenyum .
Anis, seperti bidadari yang tiba-tiba menarik hati Nisa . Menggemaskan jika sekecil dia sudah pandai menasihati seorang yang jauh lebih tua darinya . Sesekali, Anis mencoba menghibur Nisa dengan tersenyum dan bercerita lucu layaknya anak SD . Nisa merasa nyaman menjadi seorang yang mengenal Anis sedekat ini . Hanya dua kali pertemuan, si kecil yang bangga memakai kerudung merah jambu itu mampu menyadarkannya agar berlaku ikhlas menerima setiap kehendak Illah .
“  Makasih Dek . Kakak mengerti . Hmm... Dek ? Besok itu merupakan hari kematian ibu dan kakakku, gimana kalo sepulang sekolah, kamu aku jemput buat aku ajak ke makam mereka ? “ tanya Nisa menawarkan pada Anis .
“ Sama ayahnya kakak juga kan ?” Anis kembali bertanya.
Nisa terdiam . Ia kembali mengingat jawaban dari ayahnya kemarin siang . Sepertinya ayahnya terlalu sibuk dengan pekerjaan yang menumpuk di Surabaya .
“ Entahlah . Sepertinya besok aku akan menjemputmu sendirian ,” jawabnya lirih .
“ Hmm... baiklah . Terserah kakak . Oh ya , aku boleh mengajak Fadli kan ?”
“ Fadli ? Siapa dia ?”
“ Adik laki-lakiku Kak. Yang kemarin sempat berlarian bersamaku .” jawab Anis.
“ Bolehlah , ajak ayah ibumu juga boleh , hehe “ celetuk Nisa polos . Anis hanya meringis riang .
            Terdengar dari kejauhan suara muadzin mengumandangkan adzan . Tanda ashar telah tiba . Jum’at yang indah bagi Nisa mampu mengenal Anis di tepi rel kereta api itu. Anis terlihat ingin pamit . Ia ingin segera pulang, menunaikan empat rakaat di waktu senja katanya . Ia tersenyum dan melambaikan tangan . Salam pun tak lupa ia ucapkan dan Nisa menjawabnya tanpa tergagap seperti kemarin. Nisa berjalan menuju masjid , jauh lebih tenang hatinya bercerita pada gadis mungil semacam Anis . Lucu dan jauh lebih dewasa pemikirannya . Kini Nisa kembali mendekati Allah , dengan menunaikan ashar bersama linangan air mata kebahagiaan . Terisak ia di dalam masjid .
***
            Esok hari, sepulang sekolah, Nisa segera menuju alamat yang diberikan Anis dua hari yang lalu . Kali ini , ia terlihat sangat bahagia karena di sampingnya telah ada ayahnya yang menemani . Entah angin kebaikan darimana, hingga tiba-tiba kebahagiaan demi kebahagiaan hadir kembali . Tak beberapa lama berjalan , terlihat dari dekat , rumah bercat biru tua . Tampak di depan sedang duduk berdua , laki-laki dan perempuan yang Nisa rasa ayah dan ibu Anis , mungkin . Segera saja ia hampiri mereka . Saling mengumbar sapaan hangat, perkenalan yang hangat , dan sebuah cerita tak disangka darimulut mereka keluar . Ini cerita tentang Anis, gadis yang Nisa kenal dua hari yang lalu .
“Astaghfirullah , Dek Anis !” seru Nisa gemetar . Ia tak kuasa menopang tubuhnya . Ia terjatuh lemas dan menangis . Ayahnya membantunya duduk setegak mungkin , dan menenangkannya . Siang itu , bagai petir menyambar Nisa dengan sebuah cerita yang ia rasa hal itu merupakan sebuah kemustahilan  .
            Rumah ini begitu nyaman, tenang, dan teduh . Ya , inilah rumah Anis, gadis kecil yang ia kenal selama dua hari ini. Anak laki-laki yang Nisa lihat sedang duduk diam di atas sofa adalah Fadli . Ia begitu pendiam, tak ada senyum keramahan padanya . Tak seperti Anis, kakaknya, yang senantiasa menghibur Nisa selama dua hari lalu dengan senyum yang mengagumkan . Nisa masih tak percaya mendengar cerita tentang Anis dari mulut mereka , paman dan bibinya.
            “ Maafkan kami Nak! Bukan maksud kami mau menakut-nakuti kamu, namun memang sudah setahun yang lalu Anis meninggalkan kami berdua dan adiknya Fadli . Itu dia anaknya !” ujar paman meyakinkan sambil menunjuk Fadli yang duduk dan sedang memeluk sebuah foto. Nisa mengusap air matanya, ia terlihat bangkit dari tempat duduknya di dekat pintu . Kemudian ia menghampiri Fadli, mengusap kepalanya lembut.
            “ Adek Fadli, bisa kakak minta liat fotonya ?” pinta Nisa pelan dengan suara sedikit terisak . Tanpa senyuman , Fadli membuka foto yang berada di pelukannya . Sebuah keluarga yang indah, seorang ayah, ibu, Fadli dan seorang gadis mungil yang berkerudung merah jambu tersenyum riang, Anis . Berat rasanya nafas Nisa melihat foto tersebut . Suatu kenyataan yang tidak masuk akal . Gadis yang bernama Anis itu telah meninggal setahun yang lalu . Kecelakaan tragis, di ujung pertigaan jalan besar itu.
            “ Istri dan putra saya juga meninggal setahun yang lalu . Maafkan saya dan putri saya , kami tidak tau bahwa seorang gadis yang tertabrak putra saya itu keponakan bapak .” ujar ayah Nisa yang sempat keget mendengar cerita dari Pak Asmir, paman dari Fadli sekaligus Anis. Memori lama itu terkuak . Sejenak paman dan bibi Amri terdiam, menunduk . Namun tak lama bibi Amri mengangkat suaranya .
            “ Ndak apa-apa kok Pak, ini juga sudah taqdir, mereka yang kita sayang harus secepat ini meninggalkan kita “ jawaban Bu Amri sekenanya dengan suara yang semakin berat . Mengingat hari ini juga merupakan hari kematian Anis, bidadari terindah bagi seluruh keluarganya . Nisa masih terdiam, bulir air sebesar jagung telah terjatuh berkali-kali . Ia merasa kebahagiaan yang baru ia rasa , seharusnya Anis pun mampu menyicipinya . Fadli masih duduk terdiam
***
Senja itu, langit penuh dengan hamburan yang terang, tanpa mendung seperti setahun lalu .  Nisa benar-benar mendapat pelukan hangat ayahnya di dekat makam ibu dan kakaknya kemarin . Tak kuasa menahan derai air mata keikhlasan menerima kenyataan bahwa mungkin ibu dan kakaknya akan melihat pelukan hangat itu dari surga dengan senyuman mereka . Tentu Dek Anis, bayangan yang datang menyadarkan Nisa tentang keikhlasan juga akan tersenyum melihat kebahagiaan Nisa dan ayahnya kini .
Seperti telah lega jiwa Nisa menerima semuanya . Kini tugasnya hanya satu, menyampaikan pesan keikhlasan yang ia dapat dari bayangan Anis selama dua hari yang lalu kepada Fadli , adik Anis yang masih memegang erat foto terakhir keluarga kecilnya yang telah pergi . “Tenanglah kalian ibu dan Kak Fian, kami telah ikhlas disini . Senja yang menenangkan untuk Annisa Ainur Farida, datangkan bayangmu menyapaku dan Fadli, adikmu “ tulis Nisa pada secarik kertas . Ia lipat kertas itu serupa pesawat kecil dan menerbangkannya seperti benar-benar akan menuju surga . Ia masih duduk di bangku dekat perlintasan kereta api dan kali ini bersama Fadli yang mulai bisa tersenyum karena luluh dengan keramahan Nisa . Sebuah lokomotif ekonomi melintas , tak begitu cepat lajunya . Terlihat Anis melambaikan tangan mungilnya kepada Fadli dan Nisa . Fadli begitu riang membalasnya . Setenang hati Nisa akan balasan surat Anis dari surga .


{ 2 komentar... read them below or Comment }

  1. bagus banget ceritanya.....
    tetep semangat nulis yaaa!!!

    BalasHapus
  2. makasih mbak e ... aku baru posting ... tapi cuma oret oretan ... aku kangen beli buku bareng bareng maneh ...

    BalasHapus

My Clock

Popular Post

Pengunjung Blog

unique stats

- Copyright © Kaf -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -